Oleh Novi Rovika
Langit muram, angin yang bertiup menelisik sebagian ruang hati terasa seperti beledu. Suara-suara menelan kesunyian yang sedari tadi membekamnya. Tak ada harapan, seakan ini adalah ahir sebuah pengharapan.
Pintu berderit untuk yang kedua kalinya, menghenyakkan perasaan galau. Dia tersadar akan nasibnya, bukan di ujung tanduk lagi tetapi lebih tepat tinggal menyerah pada kepasrahan. Dia menggenggam selembar kertas lusuh yang tak jelas bertuliskan apa. Tubuhnya berguncang setiap kali terdengar deritan pintu di luar, dalam pikirannya “apakah yang ini?”. Tak kuasa rasanya ia setiap kali memaksakan perasaanya untuk menebak siapa yang datang ke panti asuhan tua itu. Selama itu pula ia coba mengingat setiap perkataan wanita paruh baya yang pernah menghantarkannya ke tempat itu.
Ia tak pernah lupa saat itu ia bermur lima tahun, tidak ingat bagaimana ia hidup sebelum hari itu. Yang ia ingat, saat itu tiba-tiba ia ditinggalkan dan wanita separuh baya datang menghampirinya dengan senyuman penuh keteduhan. Dengan nada rendah dan menenangkan wanita itu mengintrograsinya dengan beberapa pertanyaan. Melihat perawakan si ibu tua, dia merasa bahwa ibu tua itu hanya seorang ibu yang menumpang istirahat sebentar di sebelahnya setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan bingung untuk meneruskan perjalannannya seperti halnya dia yang tengah dirundung ketidak tahuan.
Tidak lebih dari sepuluh menit lamanya, si ibu menepuk-nepuk lembut pundaknya,
“Nak, hidup itu sulit. Tapi jangan dianggap sulit kita itu cuma orang tak berada. Biasa saja, tak usah cemas. Walaupun kita tidak berlebih dalam harta asal kita punya pekerti dan hati yang tulus, orang pasti tak akan menolak kita. Lebih dari lima puluh tahun ibu hidup, dan separuh dari umur itu ibu habiskan sendiri. Ibu tak pernah mengeluh pada Tuhan. Ibu malah mensyukuri setiap apa yang diberikan Tuhan, semua keputusan pasti ada hikmahnya”.
Ibu tua menarik napas sambil tersenyum menutup mata, dan melanjutkan monolognya. Dia hanya bisa mendengarkan walaupun segala pikiran tengah berkecamuk dalam pikirannya.
“Nak lapar tidak? Ibu punya sebungkus roti. Makan ya!”
Dia bahkan tidak mengerti, kalupun si ibu tua benar-benar tidak mengenalinya pasti yang pertama kali ditanyakan dimana atau siapa orang tuanya. Tapi tidak. Dia hanya mengangguk lemah.
Tanpa sedikit pun senyum dari sudut bibirnya yang mungil sebagai tanda terima kasih, ia mengambil roti yang disodorkan si ibu tua dan memakannya. Ibu tua terlihat senang melihatnya. Tiba-tiba ia menengadah dan memendangi wajah ibu tua itu, ternyata si ibu tua tengah menitikan air mata. Ibu tua tersipu malu dan menyeka air mata dengan punggung tangannya, lalu engelus kembali kepala si anak. Dibukanya tas kain yang ia simpan di sebelahnya, dan mengambil sesuatu dari dalam tas tersebut. Ibu itu mengambil selembar kertas, dan menyerahkannya pada anak itu. Anak itu hanya terheran-heran tidak mengerti.
“Nak kalau kamu lupa jalan pulang, pergilah ke tempat yang alamatnya tertera di ertas itu. Tanyakan saja pada orang dan serahkan kertas itu” saran ibu tua. Selama anak itu mendengarkan saran ibu tua, ia hanya menatap kertas tersebut tanpa dia sadari ibu tua telah pergi.
Seandainya ia tidak pernah bertemu dengan ibu tua itu, entah apa yang sekarang terjadi padanya. Mungkin saja ia sekedar hidup mengikuti kemana angin bertiup atau membenamkan diri dalam kesendirian dan lenyap di tengah ketidak tahuan.
Dari situlah ia hingga sampai ke panti asuhan tua yang kini ia berteduh. Ia pernah bertanya pada ketua panti asuhan tentang sosok ibu tua yang memberinya alamat itu berikut dengan ciri-cirinya. Ketua panti asuhan membenarkan memang pernah ada seorang ibu yang sempat tinggal di panti asuhan tersebut dan membantunya, tapi itu sudah lama sekali. Dulu ibu tua itu juga pernah menitipkan sebuah catatan kecil tentang suatu hal yang dititipkan pada kepala panti asuhan, namun catatan itu hilang beserta data mengenai setiap penghuni panti asuhan sejak ada renopasi ruangan administrasi di panti asuhan itu.
Ia selalu penasaran mencari tahu siapa sebenarnya sosok ibu tua yang ia temui tujuh tahun lalu. Tiba-tiba suara pintu di luar berderit lagi, sekaligus menyadarkannanya dari lamunan sesaat itu. Dan ternyata benar, dari pembicaraan yang didengarnya antara ketua panti asuhan dengan seseorang di ruangan sebelah, adalah seseorang yang akan menjadikannya anak angkat. Ia hanya tesenyum lemah, dan menangis karena ingat pada ibu tua itu. Seandainya ia sempat bertemu dengannya, maka ia tidak akan urung untuk meninggalkan panti asuhan itu. Dia benar-benar akan mengikuti nasib tanpa kendalinya sendiri, namun kini ia sudah bertuan. Tuan yang tak dikenali sebelumnya. Takkan berhenti mencari ibu tua itu, dari setiap jejak yang ditinggalkannya. Hingga ia menemukan jawaban atas tanda tanya besar dalam hatinya.
http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/kumpulan-cerpennovi
http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/kumpulan-cerpennovi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar